Melawan Arus Kehidupan

Hari Minggu memang hari yang asyik untuk berlibur. Namun sepertinya langit berkata lain. Langit sudah sangat hitam kelabu dan tak sabar menurunkan hujan deras di kota metropolitan ini. Akhirnya terjawab juga, dan hujan akhirnya mengguyur ibu kota Indonesia ini dengan derasnya. Hujan deras tersebut seakan berebut tempat di atas tanah yang entah tak lagi bisa menampung air hujan yang begitu melimpah itu. Apakah nanti akan terjadi banjir lagi disini? Begitulah pertanyaan yang ada di benakku ketika aku sedang termenung di depan jendela di dalam kamarku yang serba pink itu. Namun aku sangat tidak mengerti dengan apa yang aku pikirkan saat ini. Aku memang sedang menatap derasnya hujan di luar rumah namun aku juga sedang berpikir kenapa aku bisa tinggal serumah dengan orang aneh yang selama ini baru pertama kali kutemui. Bagaimana tidak aneh kalau Veni, nama orang aneh itu mengalami keterbelakangan khusus. Dia tidak bisa bicara dengan lancar mengingat umurnya yang jauh lebih tua dariku, yaitu 15 tahun. Walau memang umurnya lebih tua 2 tahun dariku aku tak pernah menanggilnya kakak. Karena sebutan kakak bagiku tidak layak untuknya. Kata ibu, dulu sewaktu masih dalam kandungan, ibu Veni mengonsumsi obat-obatan berbahaya sehingga meracuni janin dalam kandungannya. Tapi, untung saja Veni tidak sampai meninggal. Ia memang tertolong namun ia harus menghadapi keterbelakangannya yang membuat semua orang memandang sebelah mata padanya. Tiap orang yang bertemu dengan Veni selalu mencemoohkannya dengan menirukan perkataannya yang sedikit tergagap-gagap itu. Bahkan yak jarang orang yang menjulukinya “Aziz Gagap”. Namun ia memang seseorang yang tegar dan penyabar. Ia tak pernah marah mendengarkan cemoohan teman-temannya itu. Dia bahkan senang di juluki “Aziz Gagap” karena ia juga punya impian menjadi seorang yang terkenal seperti Aziz gagap.
“A..ku pas..ti bis..a  ja..di pen..ulis..ter..kenal..sua..tu..sa..at..nan..ti,”begitulah kata-kata yang sering dia ucapkan. Namun itu bukan hal mengejutkan lagi bagiku karena dia memang penulis yang hebat. Aku sudah pernah membaca karangan pertamanya yang dimuat di majalah terkenal waktu itu. Sungguh, itu karangan terbaik yang pernah aku baca.
Tapi aneh juga. Veni tidak pernah mau di sekolahkan di SLB bersama orang-orang cacat lainnya. Ia lebih memilih satu sekolah bersamaku di SMP biasa. Itu juga yang membuatku sedikit sebal padanya. Aku kira kalau dia di sekolahkan di SLB, setidaknya aku tak akan bertemu dia walau hanya beberapa jam saja. Tapi sekarang, aku harus melihatnya tiap hari, tiap jam, bahkan tiap detik. Namun di sekolahku Veni yang sudah duduk di kelas IX itu malah menjadi murid teladan dan paling berprestasi di sekolahku. Dan itulah yang membuatku sedikit bangga dan lebih menghargainya.
Namun aku memang tidak terlalu mengenalnya. Orangtua dan dimana ia tinggal sebenarnya, aku juga tidak tahu. Itulah yang membuatku sekali kenapa ibu mau menerimanya di rumah kami dan bahkan sangat menyayanginya seperti anaknya sendiri. Aku bahkan harus terpaksa berbagi kasih sayang dengannya. Uh, benar-benar menyebalkan!! Hanya itu yang berulang kali kuucapkan dalam hati.
Tiba-tiba saat aku sedang melamunkan hal-hal aneh itu, tangan mungil yang hangat menyentuh tanganku yang tergeletak di atas meja belajar tak berdaya. Spontan aku terhentak kaget apalagi setelah aku tau orang yang semenjak tadi aku lamunkan sudah berdiri di depanku sambil tersenyum tulus.

“Ada apa sih, Ven? Bikin aku kaget aja,”sahutku ketika tau orang yang paling aneh di dunia itu telah membuyarkan lamunanku.
“Eng..gak apa...apa ko..k. Ta..di dipang..gil i..bu,”katanya terputus-putus.
            “O, iya sebentar,”jawabku sambil meninggalkan kamar merah jambuku itu dan langsung menuju dapur untuk membantu ibuku yang hendak memasak untuk makan malam.
“Rin, tolong potongkan wortel dan kentang yang di sana itu ,ya!,”suruh ibuku begitu melihatku masuk ke dapur. Akupun langsung melaksanakan perintahnya.
“Bu, kapan sih, orang tuanya Veni datang ke sini? Aku sudah bosan tinggal serumah sama dia. Kata ibu dia cuma tinggal 1 bulan di rumah ini, tapi kenapa sampai sekarang dia masih ada di sini?,”tanyaku pada ibu dengan nada sinis.
“Kenapa sih, Rin? Veni itukan baik banget sama kamu. Dia bahkan mau bantuin kamu kerjain tugas mengarang,”sahut ibu setelah beberapa saat terdiam .
“Ya bukan itu. Tapi aku gak  suka tingkahnya yang suka cari-cari perhatian sama ibu dan ayah,”jawabku dengan sedikit kesal.
“Siapa yang cari-cari perhatian sama ayah dan ibu? Veni itu cuma kurang kasih sayang aja, kok,”jawab ibu dengan entengnya tanpa memperhatikan perasaanku sedikitpun.
“Kurang kasih sayang apanya? Jelas-jelas ia punya orangtua. Memang orangtuanya gak sayang, ya sama dia?,”tanyaku penasaran.
Ibu terdiam sejenak dan kemudian menjawab pertanyaanku dengan perlahan,”Bukan karena itu Ririn. Tapi karena saat ini Veni sudah yatim piatu.”
Mendengar ucapan terakhir ibu aku tercekat kaget. Bagaimana bisa Veni yang terlihat selalu ceria itu adalah anak yatim piatu. Mengapa ibu tak pernah cerita tentang asal-usul Veni kepadaku? Mengapa ibu mau mengasuh anak dengan keterbelakangannya dan menjadikannya sebagai kakakku? Mengapa ibu sangat menyayangi Veni sama halnya ibu menyayangi aku? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada ibu. Tapi sungguh aku tak berani menanyakannya walau hanya satu pertanyaan saja.
“Kamu pasti bingung ya, kenapa ibu tak pernah cerita soal ini?,”tanya ibu seakan tau isi pikiranku. Dan sebagai jawabannya aku hanya mengangguk.
“Baiklah ibu akan menceritakannya kepadamu. Tapi beresi dulu semua pekerjaanmu itu dan ibu akan menceritakan semuanya di kamarmu nanti,”jelas ibu padaku sambil melepaskan celemeknya dan pergi meninggalkan dapur. Akupun segera membereskan semua pekerjaanku karena ingin cepat-cepat tau apa yang nantinya akan ibu ceritakan. Setelah semuanya selesai akupun segera menuju kamarku. Di sana kulihat ibu sudah menungguku dan siap menceritakan semua yang ingin kuketahui. Sebelumnya, tampak ibu memastikan tidak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kita.
“Rin, ibu mohon supaya kamu tidak menceritakan hal ini pada siapapun termasuk pada Veni. Ia belum waktunya tahu tentang hal ini,”pinta ibuku sedikit memohon.
“Tapi kenapa Veni tidak boleh tau tentang ini? Ini kan, tentang dia. Dan aku kira dia sudah tahu semuanya,”tanyaku penasaran.
“Tapi asal kumu tahu saja, Rin. Veni itu mengira bahwa kita semua ini keluarganya. Ia mengira ibu dan ayah sebagai orangtuanya dan kamu sebagai adiknya. Ia bahkan sama sekali tidak tau kalau ia bukan bagian keluarga ini dan ia juga tidak tau kalau saat ini ia tidak punya siapa-siapa lagi,”jelas ibu.
“Tapi kenapa kita tak coba memberitahunya dulu. Mungkin ia akan merasa lebih lega dan tidak berharap banyak dengan keluarga ini nantinya,”jawabku dengan tegas.
“Tidak! Tidak bisa, Rin! Sebenarnya Veni itu mengidap penyakit jantung bawaan dari ibunya. Kalau dia menerima tekanan atau sesuatu yang tak  bisa dia terima ia akan shock dan penyakit jantungnya bisa-bisa kambuh. Ibu tidak mau Veni meninggal seperti ibunya hanya karena penyakit jantung itu. Ibu ingin dia tetap bertahan hidup sampai akhir hayatnya nanti,”jelas ibu dengan mata sedikit berkaca-kaca.
“Memang apa pentingnya ibu Veni bagi ibu, sih? Aku tau dulu ibu sempat hampir stress gara-gara tante Vera meninggal,”tanyaku sangat penasaran.
“Tante Vera itu sahabat baik ibu sejak kecil. Dulu kehidupan ibu tidak seperti sekarang. Ibu dulu adalah seoang pemulung di kota besar ini. Ibu hidup di bawah kolong jembatan, kelaparan, dan ibu tidak punya orangtua. Tapi tiba-tiba keajaiban muncul. Ibu seakan didatangi oleh bidadari dari surga yang sangat baik. Ya, tante Vera adalah bidadari itu. Tante Vera sangat baik. Ia bahkan memaksa orangtuanya agar mau mengangkat ibu sebagai anak angkat. Tante Vera juga membiayai pendidikan ibu. Ia memberikan semua yang dulu hanya mimpi bagi ibu. Sungguh tante Vera sangat berjasa buat ibu. Tanpanya mungkin ibu masih memunguti sampah di kota besar ini,”jelas ibu panjang lebar. Tampak air matanya sudak tak tertahan lagi. Ibu bahkan hampir saja menangis.

“Lalu kenapa bisa tante Vera meninggal?,”tanyaku masih ingin tau kelanjutan cerita ibu.
“Ia menderita penyakit jantung. Dan ia meninggal semuanya karena ibu. Waktu itu ibu tidak tau tentang penyakit jantung itu karena tante Vera tak pernah menceritakannya. Waktu pesta perayaan ulang tahunnya yang ke 23 tahun, ibu dengan sengaja mengagetinya dari belakang untuk memberikan kejutan khusus pada tante Vera, namun tante Vera malah sangat kaget dan tercebur ke dalam kolam renang yang ada di depannya. Tante Vera kejang-kejang dan meninggal sebelum sempat dibawa kerumah sakit. Setelah kejadian itu, orangtua tante Vera langsung mengusir ibu dan anak tante Vera, Veni keluar dari rumah megah itu,”jelas ibu panjang lebar.
“Kenapa Veni dibuang oleh orang tua tante Vera? Veni kan cucu mereka?,”tanyaku makin penasaran mendengar cerita ibu.
“Itu dia. Orang tua tante Vera tidak mengakui Veni karena dia dianggap anak haram. Memang sih tante Vera hamil disaat ia belum menikah. Dan itulah sebabnya mengapa tante Vera sempat stress dan mengonsumsi obat-obatan berbahaya yang mengakibatkan keterbelakangan pada Veni,”jelas ibu.
“Oh, jadi begitu ceritanya. Jadi, karena ibu kasihan pada Veni, ibu mengangkat ia sebagai anak angkat?,”tanyaku kembali.
“Ya, betul sekali, Rin. Mulai sekarang kamu harus lebih menyayangi Veni ya! Kamu harus lebih menghormatinya dan memanggilnya kakak karena dia lebih tua darimu,”ujar ibu padaku sambil berlalu meningglkan kamarku. Akupun mulai merasa kasihan pada Veni sehingga mulai saat itu aku berjanji pada diriku sendiri tidak akan lagi berbuat jahat padanya dan aku akan mulai belajar memanggilnya kakak. Karena aku sadar betapa pentingnya dia bagi ibuku. Setelah itu aku langsung beranjak dari tempat tidur dan pergi ke luar kamar untuk menemui Veni di kamarnya.
“Hai, kak Veni. Lagi buat apa sih?,”tanyaku penasaran ketika melihat kak Veni sedang sibuk menulis sesuatu di buku rahasianya itu.
“Oh..hai..Rin. Kak..Ve..ni..lagi..bi..kin..sesu..atu..yang..raha..sia,”jawabnya sambil menjauhkan buku yang semenjak tadi ada dihadapannya.
“Oh, jadi kak Veni mau main rahasia-rahasiaan ya? Aku juga bisa, kok! Coba lihat ini,”kataku sambil menyodorkan boneka teddy bear yang tadi aku bawa keluar dari kamar ,”dalam boneka ini aku sedang menyembunyikan sesuatu yang sangat rahasia dan tak seorangpun tau tentang ini. Kalau bisa, coba tebak!”
“Ka...lau.. itu.. me..mang.. ra..hasia.. ke..na..pa.. ka..mu mem..beritahu..kannya.. ke..padaku? Lagi..pula.. aku.. ju..ga ti..dak tau raha..sia.. yang.. a..da.. di dalam..nya,”katanya sambil tertawa kecil melihat tingkahku yang aneh. Aku hanya tercengang kaget mendengar pertanyaannya tadi. Mengapa bisa aku bertingkah sebodoh itu. Sebenarnya dalam boneka itu juga tidak ada apapun, hanya kapuk-kapuk putih yang mengisinya.
“Ah, itu karena aku juga ingin menunjukkan kalau aku juga punya rahasia seperti kakak,”sahutku sedikit malu.
“Oh, begi..tu ya..! Ta..pi ngo..mong-ngo..mong se..jak.. ka..pan.. ka..mu.. mu..lai memang...gilku.. ka..kak?,”tanyanya yang membuatku makin tersentak kaget. Sebenarnya aku memanggilnya kakak tidak hanya untuk sekedar menghargai dan menghormatinya karena dia memang lebih tua dariku, namun juga karena aku kasihan padanya setelah aku mendengar cerita ibu tadi.
“Tidak apa-apa. Itu karena kak Veni jauh lebih tua dua tahun dariku,”jawabku sambil meringis kecil,”ya sudah kak. Aku mau ke kamar mandi dulu.”
“Eh, ja...ngan... lu..pa ba..wa pera...latan un..tuk ke..gia..tan se.ko...lah be..sok ya,”katanya mengingatkan aku dan kujawab dengan anggukan ragu-ragu. Jelas aku ragu-ragu karena aku tidak ingat untuk apa aku membawa peralatan ke sekolah. Oh, iya aku baru ingat besok ada lomba untuk menyambut ulang tahun sekolahku yang ke 26 tahun. Dan untuk acaranya, sekolah kami mengadakan berbagai lomba seperti tarik tambang, panjat pinang, lomba makan krupuk, dan lain-lain, mirip lomba waktu kemerdekaan. Dan sebagai panitia lomba aku harus mempersiapkan semuanya itu. Walau memang kak Veni tidak lancar dalam berbicara banyak guru-guru mempercayainya sebagai ketua panitia dan memang benar kak Veni melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia mengkoordinasi semua timnya termasuk aku dengan baik. Itulah sebabnya aku juga merasa bangga punya kakak seperti dia.
Hari minggu yang mendung itupun berlangsung sangat cepat hingga keesokan harinya aku merasakan tangan yang hangat menyentuh punggungku dan tangan itu mulai mengguncang-guncangkan tubuhku.
“Hei, ce...pat ba..ngun Ri..rin! Nan..ti ka..mu ter..lam..bat per..gi seko..lah, lo!,”seru kak Veni yang sudah bersiap-siap ke sekolah. Setengah sadar aku bangkit dari tempat tidur dan langsung mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi.
Setelah aku selesai bersiap-siap aku segera turun untuk bergabung bersama keluargaku menikmati sarapan.
“Bu, kak Veni mana?,”tanyaku sambil celingukan karena tau kak Veni sudah tidak ada di meja makan besar ini.
“Oh, dia sudah menunggumu di luar,”jawab ibu singkat sambil terus menyuapkan nasi kemulutnya.
“Oh, begitu ya,”sahutku sambil mempercepat makanku,”yah, sebenarnya bisa gak kalau penyakit gagap itu dihilangkan?”
Ayah kaget mendengarkan pertanyaanku, namun akhirnya dia menjawab,”tentu saja bisa. Dengan banyak terapi pasti akan sembuh.”
“Lalu kenapa kita tidak menerapi kak Veni saja? Kasihan dia harus meneima cemoohan dari teman-temannya tiap hari karena kegagapannya itu,”kataku dengan penuh harap.
“Egh..egh,”ibu langsung mengambil minum di dekatnya supaya ia tidak tersedak,”sejak kapan kamu begitu peduli padanya? Apa karena cerita ibu kemarin?,”tanya ibu sambil mengusap mulutnya dengan sapu tangan.
“Iya bu. Aku kira orang berbakat menulis seperti kak Veni itu tidak layak dicemooh. Jadi, apa bisa kak Veni diterapi supaya lancar bicaranya?”tanyaku enteng.
“Ya, sebetulnya bisa, sih. Tapi biaya terapi itu tidak murah, Rin. Dan terapi itu harus dilakukan berulang-ulang kali sampai kelihatan hasilnya,”sahut ayah dengan nada serius.
“Bagaimana kalau pakai tabunganku saja? Cukupkan?,”tanyaku masih penuh harap.
Namun sebelum ayah sempat menjawab kembali, kak Veni datang menghampiri dan mengajakku untuk cepat-cepat berangkat sekolah.
“Ayolah, Rin! Kita sudah hampir terlambat,”sahutnya sambil menarik lenganku.
Kamipun segera berangkat naik mobil yang dijalankan oleh supir kami, pak Supri.
“Pak, nanti jemputnya lebih awal ya! Sekitar jam 12,”kata kak Veni mengingatkan pak Supri.
“Iya,non,”jawab pak Supri singkat.
Perjalanan ke sekolahpun berlangsung sangat singkat dan diwarnai keheningan dalam mobil selama perjalanan.
“Rin, kamu cepat-cepat persiapkan semuanya, ya! Teman-teman panitia lainnya sudah menunggumu di sana. Kakak mau bantu mendesain panggung utama dulu,”perintah Kak Veni dan segera meninggalkan aku. Akupun segera menemui panitia lainnya yang tengah sibuk mempersiapkan acaranya.
“Rin, kakakmu mana?,”tanya bu Evi, walikelasku.
“Tadi dia bilang mau bantu mendesain panggung utama di sebelah sana,”kataku sambil menunjuk ke sebuah arah.
“Oh, ya sudah. Rin, kamu bisa bantu ibu mengambil tiang-tiang yang ada di seberang gedung sekolah itu?,”kata bu Evi sambil menunjuk tiang-tiang yang nanti akan digunakan untuk penyangga di seberang sekolah sana.
“Ya, bu. Sebentar saya mau ambil tiangnya dulu,”kataku sambil berlari kecil meninggalkan tempatku tadi berdiri.
Ternyata begitu susahnya mencapai seberang jalan. Ini karena jalanannya sedang ramai sekali. Jelas saja,  jalan di sekolahku ini selalu ramai. Ini karena jalan tersebut adalah jalan tercepat satu-satunya untuk menuju ke pusat kota.
“Rin, bu...tuh ban...tuan?,”kata seseorang yang ada dibelakangku. Akupun menolehkan kepala ke belakang dan melihat bahwa kak Venilah yang tadi menawarkan bantuan kepadaku.
“Tidak usah, kak. Aku bisa kok. Masa cuma menyeberang jalan saja tidak bisa,”sahutku dengan senyum kecil di wajahku.
“I..ya. Ta..pi ka..mu ha..rus ha..ti-ha..ti, ya. Ti..dak se..dikit mu..rid yang me..ngalami kece..lakaan ga..ra-ga..ra ti..dak ha..ti-ha..ti sa..at menye..berang ja..lan,”kata kak Veni mengingatkan.
“Iya..iya. aku akan lebih hati-hati lagi. Tengok kanan-kiri,  kan?,”kataku sambil memperagakannya. Setelah itu aku mulai menyeberang jalanan ramai itu dan setelah sampai di seberang jalan aku segera mengambil tiang-tiang yang tergeletak disana dan hendak kembali lagi ke sekolah. Namun aku tidak terlalu memperhatikan jalan, sehingga saat ada mobil lewat aku terus saja jalan.  
Dan tiba-tiba.....
Ckiiiiitttt.............
Bruuuukk............
Darah mulai bercucuran mengenai seragam yang putihku. Namun itu bukan darahku karena aku tidak merasa ada yang luka. Dan, aku tersentak kaget ternyata ada orang yang menolongku saat aku hendak ditabrak mobil dengan kecepatan tinggi itu. Dan orang itu tak lain adalah kak Veni. Aku langsung berteriak-teriak minta tolong. Tak berapa lama kemudian kak Veni sudah ada di ambulance dan segera dibawa ke rumah sakit. Tanganku terasa sangat dingin walau sudah kugosok-gosokkan namun tidak jadi hangat juga. Aku gemetaran disamping kak Veni yang kondisinya sudah kritis. Darah segar belum juga berhenti mengucur di sekitar kepala, tangan, dan kakinya. Aku benar-benar takut. Aku takut tak akan pernah lagi melihatnya. Aku takut ini adalah saat terakhirku dengannya. Aku takut ia akan meninggalkanku dan menyusul ibunya. Tak terasa air mata membasahi pipiku dangan deras.
“Jangan pergi, kak Veni!! Aku masih sangat membutuhkanmu,”itulah kata-kata yang dari tadi kuucapkan.
Akhirnya, kamipun sampai di sebuah rumah sakit yang berada di pusat kota Jakarta. Kak Venipun segera diusung ke ruang UGD untuk menjalani pemeriksaan. Di luar ruangan aku menunggu dengan cemas sambil sesekali melihat ke arah HP-ku berharap ibu dan ayah akan segera menelepon untuk tau dimana kak Veni dirawat. Tak lama kemudian telepon genggamku berdering dan aku tau kalau yang menelepon adalah ayah. Langsung saja aku mengangkat telepon itu.
“Halo,Rin. Kamu tidak apa-apa, kan? Sekarang di rumah sakit mana Kak Veni dirawat?,”tanya ayah dengan cemasnya.
“Ya, yah. Aku baik-baik saja di sini. Ayah cepat-cepat ke rumah sakit Graha Tirta ya. Kak Veni sedang kritis di sini,”jawabku dengan suara bergetar karena habis menangis.
Tak lama, akhirnya ayah dan ibuku datang dan segera menghampiri aku yang termenung diam di pojokan ruang tunggu. Akhirnya, setelah beberapa saat menunggu, dokter tadi yang menangani kak Veni keluar dari ruang UGD.
“Ia baik-baik saja. Tapi kondisinya masih sangat lemah dan ia tidak boleh diganggu sementara waktu ini. Dan saya harap orangtuanya menemui saya di ruang dokter untuk membicarakan sesuatu,”jelas dokter itu. Kata-kata dokter itu membuatku sedikit lebih lega. Karena kemungkinan kak Veni meninggalkan aku masih dapat dikurangi.
Ibu lalu mendekapku penuh kehangatan. Ia meyakinkan aku bahwa aku takkan kehilangan kak Veni, malaikat penolongku itu. Tiba-tiba ayah datang menghampiriku dan ibuku.
“Tadi di ruang dokter kami membicarakan hal yang cukup serius,”jelas ayah dengan nada sangat serius,”Veni sepertinya butuh cangkok jantung dari orang lain karena jantungnya sudah sangat lemah dan ia tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi dengan keadaan seperti itu.”
“Kalau begitu ambil jantungku saja,”sahutku asal bicara,”walau aku harus mengorbankan nyawaku itu tidak masalah. Keselamatan kak Venilah yang terpenting.”
“Apa kamu sudah gila, Rin? Ibu tidak akan pernah menyetujui sampai kapanpun keputusan ceroboh itu,”kata ibuku dengan sedikit membentak dan menatapku dengan sedikit kecewa. Akupun langsung mengurungkan niatku melakukan hal bodoh itu. Aku tidak mau mengecewakan orangtuaku.
“Kita harus mencari cangkok jantung dari orang lain. Akan ayah usahakan nanti,”kata ayahku sambil begitu saja berlalu.
Banyak pertanyaan langsung menghujani pikiranku. Kapan ayah bisa mendapatkan cangkok jantung untuk kak nVeni? Darimana cangkok jantung itu? Siapa yang mau mendonorkannnya? Sungguh tak karuan perasaanku. Sedih,bingung, dan gelisah semuanya jadi satu. Aku bahkan berharap bisa menggantikan posisi kak Veni yang sedang berjuang di dalam ruang UGD.
Setelah beberapa hari menanti, ayah tak kunjung mendapat cangkok jantung. Ini membuatku makin gelisah. Namun untungnya dokter akhirnya memperbolehkanku untuk menjenguk kak Veni yang tergeletak tak berdaya di atas kasur rumah sakit yang berbau obat-obatan.
“Kak, kakak harus sembuh. Aku tidak mau kakak pergi. Bertahanlah sebantar,”hiburku pada kak Veni yang belum kunjung membuka matanya. Aku tau, walau ia memang tak sadarkan diri, kaka Veni masih dapat mendengarkan suaraku dan ia pasti takkan mengecewakan adik tersayangnya ini.
Aku terus menggenggam tangan kak Veni berharap keajaiban akan segera datang. Namun kelihatannya Tuhan berkata lain.
Tiiiiiiiittttttttttttttt.....................
Mesin penunjuk detak jantung itu menunjukkan ngari lurus. Aku spontan sangat bingung dan berteriak-teriak agar dokter segera menangani kak Veni. Namun dokter itu berkata bahwa kak Veni sudah meninggal dan tidak dapat tertolong lagi.
Kak Veni meninggal? Kenapa ia harus pergi? Kenapa ia pergi saat aku baru sangat menyayanginya? Kenapa? Kenapa? Begitulah yang kutanyakan dalam hatiku. Tiba-tiba aku merasa dunia menjadi gelap dan begitu tersadar aku sudah berada di atas kasur tempat tidurku. Mataku sembab habis menangis semalaman. Aku bahkan tak percaya kak Veni sudah tiada. Namun ibu dan ayah terus mendukungku agar aku tidak terlalu jatuh dalam kesedihanku.
Saat di pemakaman, aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan makam kak Veni. Karena aku yakin ia akan sangat sedih bila melihatku menangis. Hari-hari tanpa kak Venipun aku jalani dengan cepat dan hampa. Entah mengapa tiap harinya, hidupku terasa hampa dan ada yang kurang. Aku tau penyebabnya namun tidak terlalu kupikirkan karena selalu membuatku sedih.
Hidupku tanpa kak Veni sepertinya sangat berbeda. Sering di malam hari aku mendengar ayah dan ibuku bertengkar di kamar. Aku kira itu hanya pertengkaran kecil. Tapi setelah suatu malam aku mendengar ayahku mengucapkan kata ‘cerai’, hidupku makin bertambah suram. Kemanakah aku melangkah nantinya. Semangatku untuk hidup sudah tidak ada lagi. Jadi untuk apa aku hidup? Akupun memutuskan untuk pergi menenangkan diri. Aku memberesi barang-barangku. Setelah itu aku menuju kamar kak Veni untuk memberesi semua barang-barangnya untuk aku bawa juga. Tiba-tiba buku yang selama ini kak Veni rahasiakan itu tersentuh juga olehku. Karena rasa ingin tahuku, aku membuka buku tua yang sudah cukup usang itu perlahan. Dan aku mulai membaca satu persatu tulisan yang ada disana. Ternyata buku itu berisi tentang kehidupan yang selama ini dihadapi oleh kak Veni. Aku tidak mengira sebelumnya, bahwa kak Veni sebenarnya tidak setegar yang kelihatannya. Ia mencurahkan semua keluh kesahnya dalam buku tuanya itu. Disana bahkan, ia juga menggambar keluargaku dengan sangat bagus. Ada ayah, ibu, aku, dan kak Veni. Sungguh aku tak mengira bahwa ia sangat menyayangi aku dan keluargaku. Oh, kak Veni yang malang!
Aku sadar, betapa pentingnya keluargaku. Dulu, kak Veni juga pernah berpesan untuk menjaga ayah dan ibuku bagaimanapun keadaan mereka. Olehkarena itu akupun mengurungkan  niatku untuk pergi dari rumahku. Akupun sudah menyiapkan diri dengan apa yang nanti akan terjadi. Ini semua kulakukan hanya demi kak Veni. Aku tidak mau ia merasa kecewa nantinya.
Hari-haripun berlalu dengan cepat, hingga suatu hari ada murid baru di sekolahku. Namanya Ferdy. Bagiku ia adalah laki-laki yang menyebalkan, sok tahu, dan dedikit sombong. Tapi, entah mengapa Ferdy seakan menjadi pengganti kak Veni bagiku. Dia punya bakat yang sama dengan kak Veni, menulis. Ia bahkan juga berbaik hati mengajariku menulis hingga muncul tulisan pertamaku di suatu majalah terkenal. Tulisanku itu sebenarnya menceritakan kehidupan kak Veni yang tak ada harapan lagi dan oleh karena itu aku memberi judul karanganku “Melawan Arus Kehidupan”.
Itulah karangan pertamaku yang tak akan pernah bisa kulupan sampai kapanku. Karena lewat karangan itu aku bisa menjadi seorang penulis seperti sekarang ini. Terimakasih Ferdy! Terimakasih kak Veni! ^.^

0 Response to "Melawan Arus Kehidupan"

Posting Komentar